Mandi Safar: Tradisi Leluhur yang Bernafaskan Islam

Sabtu, 01 Oktober 2022 - 22:58
Bagikan :
Mandi Safar: Tradisi Leluhur yang Bernafaskan Islam
Warga mengarak menara adat di Pantai Babussalam saat pelaksanaan Tradisi Mandi Safar 1439 Hijriah di Air Hitam Laut, Sadu, Tanjungjabung Timur, Jambi, Rabu (15/11), [Sumber Foto: ANTARA/Wahdi Septiawan]

alfikr.id Jambi-  Indonesia memiliki beranekaragam tradisi dan budaya. Di antaranya, ritual mandi Safar. Ritual ini dilakukan oleh setiap masyarakat muslim di beberapa wilayah di Indonesia. Salah satunya, Desa Air Hitam Laut, Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. 

Tradisi mandi Safar dimotori oleh seorang tokoh agama bernama KH. M. As'ad Arsyad, pengasuh Pondok Pesantren Wali Peetu. Tradisi ini bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Dikutip dari artikel Bahtiar yang berjudul Akulturasi Islam dan Tradisi Lokal; Studi kasus di Desa Air Hitam Laut Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung Jabung Timur menjelaskan, masyarakat percaya ritual mandi Safar dapat mencegah atau bahkan menghilangkan segalah macam kesialan, wabah penyakit menular, bencana serta musibah.

Menukil dari Instagram @kenduriswarnabhumi tradisi mandi Safar memilliki enam makna. Pertama, menara adat tunggal yang bermakna tuhan yang esa serta memiliki satu kesatuan kebersamaan dan persatuan masyarakat Desa Air Hitam Laut dalam mewujudkan segala cita-cita bangsa, dan memiliki tiga tingkat yang berarti Iman, Islam dan Ihsan.

Kedua, rakit dan pondasi menara, dibuat berbentuk segi empat (Sulap Eppa) yang berarti empat unsur penciptaan manusia (tanah, api, angin, dan air) beserta ciri dan sifatnya masing-masing. Tanah memiliki sifat duduk, api sifatnya berdiri, angin sifatnya rukuk, dan air sifatnya sujud. Hal ini menunjukkan bahwa manusia diciptakan hanya untuk mengabdi kepada Allah, sesuai tuntunan Al-Quran dan Hadist Rasul.

Ketiga, nibung dan nipah merupakan bahan utama membangun tempat tinggal bagi sebagian masyarakat. Namun, saat ini batang nipah dan nibung sudah diganti. Nibung diganti dengan kayu, sedangkan nipah diganti dengan pelampung karena menara tersebut nantinya akan dinaiki oleh pemimpin atau kepala adat.

Keempat, pemimpin di atas menara. Sosok pemimpin di atas menara yang membawa satu helai daun yang telah dituliskan tujuh ayat Al-Quran ini menunjukkan suatu keharusan bagi seorang pemimpin yang bisa menjadi pengayom, pelindung, dan dapat mengambil keputusan yang adil didalam setiap masalah yang dihadapi oleh setiap masyarakat, serta menjadi solusi bagi penyejuk bagi setiap masyarakat. masyarakat yang dipimpin seluruhnya.

Kelima, payung dan telur. Payung digunakan untuk memayungi pemimpin atau tokoh adat dalam pelaksanaan ritual. Hal ini merupakan simbol kesetiaan rakyat kepada pemimpinnya, sedangkan telur akan dilempar oleh tokoh adat kepada msyarakat untuk dijadikan bekal masyarakat sehingga ini menjadi bukti kecintaan pemimpin kepada masyarakat.

Keenam, masyarakat yang hadir tidak diperbolehkan mandi sebelum tokoh yang dipercaya membuka dengan doa. Hal ini merupakan keharusan yang harus di ikuti masyarakat.

Namun, dalam eksistensi ritual mandi Safar ini tentu menimbulkan pro dan kotra di kalangan masyarakat. Di satu sisi ada yang mengganggap sebagai tindakan b id'ah yang tidak boleh dilakukan karena berhubungan dengan ajaran Islam. Sedangkan di sisi lain ada yang berpendapat bahwa ritual mandi Safar adalah tradisi leluhur yang bernafaskan Islam.

Penulis
Ahmad Rifa'i
Editor
Zulfikar

Tags :