Saya Tak Bisa Tidur, Teriakan Minta Tolong Bergema di Telinga
Senin, 03 Oktober 2022 - 03:27alfikr.id, Probolinggo - Joshua pergi ke stadion bersama istri dan 13 temannya. Mereka adalah Aremania, suporter Arema FC. Kekalahan tim kesayangan, bagi mereka sangat menghancurkan. Usai pertandingan, para pemain dan manajemen klub berdiri di lapangan, mereka meminta maaf kepada suporter atas kekalahan tersebut.
Dua atau tiga suporter marah dan turun dari tribun. Joshua menceritakan, mereka terlihat meneriaki pemain. Aparat keamanan tak tinggal diam. Mereka memukul mundur suporter. Kondisi itu kian memancing suporter lain untuk turun ke lapangan.
Sekira pukul 22.30 WIB, kata Joshua, beberapa perkelahian antara polisi dan suporter memicu ledakan pertama gas air mata. 30 menit berikutnya, tembakan gas air mata kian menjadi-jadi.
Kepada Nytimes.com Joshua menceritakan kondisi itu membuat orang-orang mencoba keluar. Namun, stadion telah menutup banyak pintu keluar karena penggemar yang marah bentrok dengan polisi di luar.
Pada pukul 23.00 WIB, aparat kepolisian mulai menembakkan gas air mata ke tribun penonton. Itu mendorong beberapa orang untuk mencari pintu keluar. Menurut Joshua, penembakan gas air mata tidak berhenti selama satu jam. Joshua dan beberapa temannya yang duduk di bangku VIP secara langsung terkena gas air mata. Namun, kepulan asap gas air mata membuat banyak dari mereka sulit bernapas, dan tembakan gas air mata tanpa henti menyebabkan kepanikan.
Joshua menceritakan, untuk, beberapa orang harus memanjat pagar setinggi lima meter. “Mereka berusaha keluar dari stadion untuk menghindari kekacauan, tetapi mereka tidak bisa karena ada juga perkelahian antara fans dan polisi di luar stadion,” kata Joshua kepada nytimes.com.
Joshua melihat banyak orang pingsan. Dia menegaskan bahwa aparat kepolisian hanya berdiri dan tidak melakukan apa-apa. Dia melihat seorang anak laki-laki berusia 13-14 tahun menangis dan berteriak karena kekacauan. Kebanyakan dari mereka yang meninggal, kata Joshua, adalah penonton di tribun, bukan mereka yang berada di lapangan.
“Jika tidak ada tembakan gas air mata ke tribun, tidak akan ada korban,” kata Joshua. “Mereka panik dan satu-satunya pilihan mereka adalah keluar dari pintu keluar atau mencari perlindungan di lapangan. banyak orang yang turun ke lapangan. Mereka sebenarnya berusaha menyelamatkan diri mereka sendiri,” ungkapnya.
Ketika Joshua akhirnya berhasil menyelamatkan diri, dia melihat orang-orang dibawa keluar dari stadion. Pecahan kaca di mana-mana dan mobil dibakar. Joshua tak bisa tidur. Bayangan mengerikan tak bisa hilang dari pikirannya.
“Ketika saya menutup mata, saya masih bisa mendengar suara-suara yang berteriak minta tolong,” katanya. “Itu bergema di telingaku. Saya tidak ingin menjadi suporter sepak bola lagi. Saya tidak ingin menjadi suporter sepak bola Indonesia lagi. Saya berharap sepak bola di Indonesia dihapuskan,” harap Joshua.
Bahkan dalam akun Twitternya, Joshua menegaskan, “Atiku ajur ketika ndelok bojoku dewe nangis dan keweden kenek gas air mata. Atiku ajur ndelok arek disabilitas nangis gero2 kenek gas air mata. (Hatiku hancur ketika melihat istriku menangis dan ketakutan kena gas air mata. Hatiku hancur melihat kawan cacat menangis gara-gara kena gas air mata).”
Keadilan Seadil-Adilnya
Tragedi Kanjuruhan menjadi sejarah kelam bagi sepak bola Indonesia bahkan Dunia. Peristiwa yang menewaskan ratusan orang itu terjadi di laga antara Arema FC vs Persebaya, di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022) malam. Duka mendalam bagi para keluarga korban.
"Keadilan yang seadil-adilnya, kebenaran yang sebenar-benarnya," kata Mashadi, orangtua Hindun Diana, sambil terisak di RSUD Dr Saeful Anwar, Kota Malang, Minggu (2/10/2022) siang, kepada Harian Kompas.
Hindun, gadis 19 tahun, merupakan satu dari 17 jenazah yang Ahad siang itu diidentifikasi oleh tim di Instalasi Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Identifikasi diperlukan untuk memastikan hubungan kekerabatan korban seusai laga Liga 1 di Stadion Kanjuruhan itu. Setelah itu, keluarga dapat membawa dan mengebumikan jenazah gadis itu.
Senada diutarakan Aji Suryadi, ayahanda dari Akbar Raihan Firdaus (15). Sang anak meninggal dalam penanganan setelah Tragedi Kanjuruhan, Sabtu malam itu. Kerusuhan yang dipicu kekalahan Arema 2-3 dari Persebaya itu meninggalkan luka dan duka yang teramat dalam.
”Dia masih anak-anak, mengapa turut menjadi korban,” kata Aji.
Sepak bola mungkin menjadi dunia yang segera dibencinya. Itu berbeda dengan masa muda Aji ketika berani bertaruh nyawa untuk mendukung tim idola.
Di Instalasi Gawat Darurat, Edi Hermanto terus memanjatkan doa untuk kesembuhan sang putri Bellanis Agustin (16), yang di tengah perawatan.
”Kalau tahu begini, mending gak usah lihat sepak bola di stadion, di rumah saja, aman,” ujarnya.