Penanganan Krisis Iklim Kurang Mendapat Tempat di Level Kebijakan

Jum'at, 07 Oktober 2022 - 20:06
Bagikan :
Penanganan Krisis Iklim Kurang Mendapat Tempat di Level Kebijakan
Pengendara sepeda motor melintas saat banjir di Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan, Selasa (4/10/2022). Hujan deras yang mengguyur DKI Jakarta membuat sejumlah wilayah di Ibu Kota terendam banjir. [ANTARA FOTO/Galih Pradipta/tom]

alfikr.id, Jakarta-Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan agar warga DKI Jakarta meningkatkan kewaspadaan atas risiko banjir akibat hujan deras pada Jumat (7/10). Potensi hujan lebat disertai kilat, petir dan angin kencang berpotensi terjadi di Jakarta Barat, Jakarta Selatan dan Jakarta Timur pada Jumat (1/10) sore hari menjelang malam hari.

Sebelumnya, di wilayah Jakarta , Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) terus diguyur hujan dalam beberapa hari terakhir. Hujan dengan intensitas ringan hingga sedang itu kerap disertai angin kencang dan kilat atau petir. Cuaca ekstrem tersebut memicu banjir di sejumlah wilayah seperti di Jalan TB Simatupang, Jalan Pinang Kalijati di Pondok Labu, Jalan Kemang Raya, Tol BSD, Jalan Kalibata dan lain sebagainya.

Prakirawan cuaca BMKG, Tomi Ilham mengatakan bahwa cuaca yang cukup ekstrem di Jabodetabek ini terjadi karena berbagai faktor. "Potensi hujan di Jabodetabek diakibatkan gabungan faktor-faktor global, juga regional, serta gelombang-gelombang atmosfer," kata Tomi kepada Kompas.com, Jumat (7/10/2022).

Kajian yang dipublikasikan dalam jurnal Royal Meteorological Society (2015) menyebut, pada 1866-2010, jumlah hari hujan di Jakarta berkurang, tapi proporsi curah hujan lebat melebihi 50 mm per hari dan 100 mm per hari pada total hujan tahunan, naik signifikan. Meski curah hujan tahunan berkurang, frekuensi hujan ekstrem skala jam atau harian meningkat.

Kevin E Trenberth mencatat di jurnal Nature Climate Change (2015) juga menunjukkan, peningkatan cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia ini berkaitan dengan suhu permukaan, daratan, dan lautan. Dengan penambahan kenaikan suhu global mencapai 1,1 derajat celsius ketimbang tahun 1850-an, dapur cuaca dipastikan telah berubah.

Tidak ada faktor tunggal penyebab banjir yang kerap menggenangi Jakarta. Dalam banyak catatan, setidaknya ada beberapa faktor: Pertama, minimnya resapan air di selatan Jakarta atau bagian hulu. Daerah hulu merupakan tempat efektif untuk menyerap air permukaan (surface run off) yang diakibatkan curah hujan yang tinggi.

Hal ini lantaran muka air tanah masih sekitar ratusan meter dari permukaan sehingga penyerapan bisa maksimal. Jika air yang mengalir di permukaan bisa diserap, maka air yang turun ke hilir dapat berkurang. Permasalahannya saat ini semua run off dibuang ke sungai.

Faktor kedua adalah drainase yang buruk di hilir. Secara geografis, Jakarta berada di bidang datar. Akan sulit jika hanya bergantung pada sistem kanal yang mengandalkan gravitasi. Di sisi lain, Jakarta hampir tidak ada ruang terbuka biru (RTB) atau tempat parkir air sebelum dialirkan ke laut. Belum lagi fenomena penurunan tanah atau land subsidence yang tersebar di hampir semua wilayah DKI Jakarta yang tentu memperburuk banjir.

Elisa Sutanudjaja dari Rujak Center Urban Studies menilai selama ini pengelolaan air permukaan (run off) dilimpahkan seluruhnya pada pemerintah. Padahal jika melibatkan masyarakat, run off tersebut bisa berkurang banyak. “Misalnya saja dengan membuat sumur resapan di tiap rumah. Atau sesederhana menggunakan tandon,” kata Elisa seperti dikutip Tirto.id

Jakarta sejatinya merupakan daerah rawa. Namun, seiring bertambahnya populasi manusia di ibukota dan perkembangan pembangunan, rawa-rawa tersebut kini berubah tampilan menjadi permukiman dan gedung-gedung tinggi. Banjir yang terjadi kemarin, mau tak mau tak bisa dilepaskan dengan Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Terbuka Biru yang semakin hari semakin digerus oleh para pengembang.

Pemprov DKI menunjukkan sebuah peta bahwa saat ini 90 persen lahan di DKI Jakarta sudah dibeton. Pada 2004 hingga 2006, Agung Podomoro Grup secara agresif membangun 12 apartemen di kawasan barat, pusat, selatan dan utara Jakarta. Saat ini total apartemen di Jakarta mencapai sekitar 234 apartemen yang tentunya secara masif pula menyedot air tanah dan berperan mempercepat penurunan tanah (land subsidence).

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta setiap dekadenya semakin menguning. Jika melihat peta RTRW tahun 1980, DKI Jakarta masih cukup banyak lahan hijau. Namun pada peta RTRW 1999-2005, kawasan hijau makin berkurang dan berganti dengan kuning alias untuk permukiman. Pada peta RTRW 2010-2030 nyaris semua kawasan di Jakarta menjadi kuning.

Sejumlah petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) membantu warga melintasi banjir di kawasan Jeruk Purut, Jakarta Selatan, Kamis (6/10/2022). [ANTARA FOTO/ M Risyal Hidayat]

Butuh Keadilan Iklim

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari menyebutkan, proses penanganan bencana terbagi dalam fase bencana dan prabencana. Hal tersulit terdapat pada bagian prabencana karena diperlukan edukasi, simulasi, dan mitigasi di kalangan masyarakat.

"Faktor pemicu banjir tidak hanya cuaca, tetapi juga ada faktor degradasi lingkungan, seperti alih fungsi lahan dan penggundulan hutan tanpa diiringi penanaman kembali,” katanya seperti dikutip Harian Kompas.

Sayangnya, isu krisis iklim, lingkungan, hingga keberlanjutan masih kurang mendapat dukungan di level pengambilan kebijakan. Menyuarakan isu-isu tersebut harus terus digaungkan oleh seluruh elemen, termasuk generasi muda.

Dalam diskusi bertajuk ”A World with Net Zero Emissions: Apa, Mengapa, dan Bagaimana?” secara daring, Kamis (29/9/2022), Co-chair Youth 20 (Y20) Indonesia Rahayu Saraswati mengatakan, selama ini banyak pihak seperti aktivis, termasuk generasi muda, yang fokus menyuarakan isu iklim, lingkungan, ataupun keberlanjutan. Namun, ia menyayangkan bahwa pihak-pihak yang fokus terhadap isu tersebut kurang berminat untuk terjun ke dunia politik.

"Saat masih berada di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), kita yang memperjuangkan isu keberlanjutan, net zero, dan krisis iklim itu masih minoritas di level pengambilan kebijakan. Sayangnya, tidak semua yang memiliki idealisme tentang isu ini mau masuk ke dunia politik,” ujarnya.

Rahayu yang menjadi anggota DPR periode 2014-2019 ini menyatakan, politik bukan hanya terkait dengan pemilihan umum (pemilu). Akan tetapi, politik juga berperan besar dalam pengambilan kebijakan level nasional yang mencakup hidup masyarakat luas.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dalam rilisnya mengatakan bahwa penyusunan kebijakan iklim harus terbuka bagi partisipasi publik utamanya kelompok rentan, seperti petani, nelayan, dan masyarakat adat. Selama ini mereka lebih banyak menanggung, menderita, dan menanggulangi kerusakan iklim dibanding para pengusaha yang menyebabkan kerusakan. Perlu Undang-undang Keadilan Iklim agar ketimpangan iklim tidak terus terjadi dan semakin buruk.

Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono menerangkan keadilan iklim tak boleh diabaikan jika dunia ingin sukses menahan laju perubahan iklim. Jika ketimpangan bisa dikikis, maka adaptasi dan mitigasi iklim bisa disinergikan. Bila keadilan iklim bisa dijalankan, maka masyarakatnya akan bisa beradaptasi. “Sebaliknya, jika adaptasi iklim bisa dilakukan, maka akan menghasilkan masyarakat yang adil,” kata Torry.

Torry menjelaskan, keadilan iklim bisa terjadi jika pemerintah membuka partisipasi publik (rekognisi) dari kelompok rentan agar mereka bisa efektif beradaptasi dengan perubahan iklim dan mencegah maladaptasi. Partisipasi ini perlu dijamin oleh prosedur hukum untuk memberikan keadilan yang lebih bagi kelompok rentan. Pasalnya selama ini, mereka yang paling terkena dampak dari bencana iklim.

“Pada prinsipnya yang paling menderita harus menerima manfaat lebih besar daripada manfaat yang diterima orang rata-rata supaya ketimpangan bisa ditangani,” ujarnya.

Penulis
Abdul Haq
Editor
Abdul Razak

Tags :