Kondisi Kebebasan Sipil di Indonesia Kian Tergerus

Sabtu, 08 Oktober 2022 - 07:12
Bagikan :
Kondisi Kebebasan Sipil di Indonesia Kian Tergerus
Peluncuran laporan dan diskusi situasi kebebasan sipil yang digelar Amnesty Internasional Indonesia di Dia.Lo.Gue Kafe, Jakarta Selatan, Jumat (7/10/2022). [Kompas/STEPHANUS ARANDITIO]

alfikr.id, Jakarta-Amnesty International Indonesia, dalam laporannya menemukan bahwa begara terus-menerus menekan suara kritis dan membiarkan tekanan tersebut juga dilakukan oleh aktor non negara yang rata-rata berakhir dengan impunitas. Laporan Amnesty berjudul ‘Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia’ menemukan fakta merebaknya serangan terhadap kebebasan sipil, yang setidaknya meliputi 328 kasus serangan fisik dan serangan digital yang diarahkan pada kebebasan sipil dengan total setidaknya 834 korban.

Serangan dari atas berasal dari aktor-aktor negara yang sayangnya didominasi oleh kepolisian, lembaga yang seharusnya melayani dan melindungi masyarakat dalam mengekspresikan pikiran, pendapat, atau kritik atas kebijakan negara. Sedangkan serangan dari bawah berasal dari para individu dan kelompok non-negara, yang kerapkali turut menyerang orang lain yang kritis terhadap negara.

Selama tiga tahun terakhir, serangan dari kedua arah tersebut menggerus ruang publik dan berakibat hilangnya hak-hak asasi para aktivis, jurnalis, mahasiswa, akademisi, dan demonstran.

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menegaskan bahwa kondisi ini tidak bisa terus dibiarkan karena bisa membuat masyarakat semakin takut berpendapat. Meskipun, pada teorinya, Presiden Joko Widodo berulang kali menyatakan komitmen negara untuk melindungi kebebasan sipil.

“Walaupun pejabat pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo, berulang kali menyatakan komitmennya untuk menghormati dan melindungi kebebasan sipil, namun data dan faktanya justru berkata lain. Kebebasan tergerus dari atas dan dari bawah. Ini harus diperbaiki pemerintah Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid dalam keterangan tertulis yang diterima alfikr.id.

Kondisi ini tak bisa dibiarkan. Pasalnya akan berimbas pada ruang masyarakat untuk berpendapat akan semakin menyempit. Bahkan, kata Usman, bisa jadi menakutkan. Sejak 2020 hingga Juni 2022, berbagai survei memperkuat indikasi tergerusnya kebebasan sipil. 

“Sebagian besar pelaku serangan dan ancaman ini tidak mendapat hukuman dari negara. Akibatnya menciptakan iklim ketakutan,” kata Usman. “Jika hal ini terus-menerus dibiarkan, ruang publik untuk berpendapat semakin menyempit, bahkan bisa jadi menakutkan, sehingga berisiko besar bagi masa depan situasi kebebasan berpendapat di negara ini.”

Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Sumsel Melawan terlibat bentrok dengan aparat keamanan saat melakukan aksi di luar gedung DPRD Sumatera Selatan, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa, 24 September 2019. Aksi untuk menolak pengesahan RUU KUHP dan menolak UU KPK tersebut berakhir ricuh. [ANTARA]

Survei Indikator Politik Indonesia, misalnya, menemukan 60,7% responden setuju bahwa saat ini orang-orang lebih takut untuk menyuarakan pendapat mereka, 57,1% merasa lebih sulit untuk menggelar demonstrasi, dan 50,6?rpikir bahwa semakin banyak orang yang ditangkap secara sewenang-wenang oleh pemerintah karena perbedaan pendapat dengan penguasa.

Kecenderungan lain yang terus-menerus terjadi, dan mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir, kata Usman, yakni meningkatnya jumlah serangan terhadap pembela HAM dan organisasi masyarakat sipil.

Amnesty International Indonesia mendokumentasikan setidaknya 13 kasus dengan 17 korban percobaan pembunuhan dan/atau ancaman pembunuhan terhadap pembela HAM yang dilakukan antara Januari 2019 hingga Mei 2022. Sayangnya, pihak berwenang sering gagal dalam menyelidiki ancaman ini dan membawa pelaku ke pengadilan.

“Kelambanan ini memberikan impunitas kepada pelaku dan dapat mewajarkan ancaman serta serangan lebih lanjut,” katanya. “Laporan ini dengan jelas menunjukkan kegagalan dan keterlibatan aktif negara dalam pelanggaran HAM serius yang mengarah pada memburuknya situasi HAM di negara ini,” tegas Usman.

Kebebasan Akademik

Koordinator Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA), Dhia Al Uyun, juga melihat tekanan dan ancaman terhadap kebebasan akademik di Indonesia semakin menguat.

KIKA mencatat, ada 29 kasus terkait pelanggaran kebebasan akademik. Jumlah ini meningkat lebih dari tiga kali lipat dibandingkan dengan 2020 sebanyak sembilan kasus dan pada 2019 hanya ada enam kasus.

”Situasi ini tidak nyaman di lingkungan kampus, sebenarnya kita bisa berdebat dan berdiskusi, kalau berbeda data kita bisa saling memberi. Apalagi pergeseran bahwa semua riset harus di bawah BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), mungkin kalau saya boleh bilang BRIN dan BIN (Badan Intelijen Negara) itu cuma beda huruf R di dalamnya,” ucap Dhia seperti dikutip Harian Kompas. 

Penulis
Abdul Haq
Editor
Abdul Razak

Tags :