KPK Mengidentifikasi Potensi Korupsi Penanganan Stunting 2022
Rabu, 25 Januari 2023 - 23:15alfikr.id, Jakarta-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengidentifikasi bahwa ada risiko korupsi dalam pengelolaan dana program pencegahan stunting tahun 2022. Sebelumnya KPK melalui Kedeputian Koordinasi Supervisi menerima banyak informasi dan laporan dari inspektorat pemerintah daerah, bahwa pengadaan pada program penurunan prevalensi stunting tidak memberikan manfaat optimal.
Koordinator Harian Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) Niken Ariati mengungkapkan, penganggaran program ini tidak menjadi prioritas pada beberapa pemerintah daerah.
Meski program ini menjadi prioritas nasional, namun dalam penganggaran beresiko dikorupsi.
Dari identifikasi yang dilakukan KPK, Niken menerangkan, terdapat beberapa praktik dalam upaya penanganan prevalensi stunting yang berisiko menimbulkan korupsi. Praktik tersebut dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu anggaran, pengadaan, dan pengawasan.
Niken menyebutkan, pada 2022 pemerintah pusat mengalokasikan belanja sebesar Rp34,1 triliun untuk penurunan stunting. Rincian terbesar berada di Kementerian Sosial (Kemensos) sebesar Rp23,3 trilium, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Rp8,2 triliun, Kementerian Pekertjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Rp1,3 triliun, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Rp810 mikiar (sebagai koordinator pelaksana) serta tersebar di 17 Kementerian/Lembaga lainnya.
“Pengalokasian dana yang cukup besar perlu diikuti pengelolaan dana yang baik. Hal ini yang menjadi titik rawan terjadinya korupsi. Sehingga perlu upaya lebih lanjut untuk dapat menciptakan penanganan stunting dan pengelolaannya yang bebas dari risiko korupsi,” jelas Niken dalam keterangannya, Rabu (25/1/2023).
KPK juga mengidentifikasi potensi penyimpangan terkait ketepatan sasaran penerima program pencegahan stunting 2022. Bahkan, diduga ada indikasi kegiatan fiktif terkait program pencegahan atau penurunan stunting tahun 2022 yang berpotensi merugikan keuangan negara.
Niken menerangkan bahwa temuannya di lapangan pada aspek penganggaran menunjukkan adanya indikasi tumpang-tindih perencanaan dan penganggaran antara pemerintah pusat dan daerah.
Sedangkan pada aspek pengadaan, adanya pengadaan yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) nonfisik masih belum berjalan optimal.
Pada aspek pengadaan juga terdapat pengadaan barang yang tidak dibutuhkan, sebagai contoh untuk program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang diseragamkan ke seluruh daerah tanpa analisis kebutuhan objek.
“Hal ini membuat pengadaan barang yang tidak berguna bagi masyarakat,” kata Niken.
Niken menyebutkan terkait pengadaan alat peraga (pendukung kampanye) juga bersifat sentralistis yang menyebutkan bahwa terdapat keterbatasan peran vendor. Vendor yang menyediakan alat tersebut harus mendapat lisensi dari BKKBN.
Selanjutnyaa pada aspek pengawasan, belum ada pedoman teknis untuk Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dalam melakukan audit atau pengawasan khusus terkait pelaksanaan program.
“Praktik-praktik dalam aspek tersebut sangat berisiko menimbulkan penyimpangan yang berujung pada tindak pidana korupsi. Hal ini tidak bisa disepelekan karena akan berdampak pada pelayanan kesehatan gizi yang masyarakat dapatkan,” tegas Niken.
Dari pelbagai temuan itu, KPK memiliki beberapa rekomendasi. Pada ranah penganggaran, KPK merekomendasikan adanya integrasi perencanaan dan penganggaran antara pusat dan pemerintah daerah untuk mencegah terjadinya tumpang tindih alokasi anggaran.
Ke depannya juga dibutuhkan peran Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam menyusun Pedoman Penyusunan APBD.
“Tim Stranas PK akan mendorong integrasi perencanaan dan penganggaran melalui format digital mulai dari level desa hingga pusat, termasuk monitoring proses penyusunan RKP, Renja, RKA dan DIPA, sehingga ke depan tagging anggaran untuk stunting benar-benar mendukung penurunan prevalensi stunting,” jelas Niken.
Selanjutnya pada aspek pengadaan, perlu adanya kajian efektivitas dari barang yang dihasilkan dan beban administrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan objek sehingga dapat bermanfaat.
Kementerian atau lembaga juga perlu mempersiapkan dengan baik petunjuk teknis dan koordinasi dengan LKPP terkait kesesuaian barang yang tampil di e-katalog.
“Selain itu, diperlukan pedoman teknis yang akan digunakan Inspektorat untuk melakukan pengawasan program percepatan penurunan prevalensi stunting ini. Rekomendasi-rekomendasi ini diharapkan dapat mencegah adanya penyimpangan dalam upaya percepatan penurunan prevalensi stunting,” imbuh Niken.
Masalah gizi pada bayi usia di bawah lima tahun (Balita) masih menjadi masalah kesehatan yang tergolong tinggi di Indonesia. Salah satunya masalah stunting. Menurut data survei Kementerian Kesehatan, kasus stunting di Indonesia pada tahun 2022 berada di angka 21,6%.
Pada Oktober 2022, KPK bersama Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) menggelar audiensi dan koordinasi terkait upaya pencegahan korupsi pada program penurunan stunting Balita. Upaya penurunan stunting ini menjadi program prioritas nasional untuk mencapai target yang diharapkan pada tahun 2024.
Program ini termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Target nasional pada 2024, prevalensi stunting ditargetkan turun hingga 14 persen, dengan penurunan stunting di atas 3,3 persen pertahun.