Uang Panai Kewajiban yang Tak Bisa Diabaikan
Senin, 01 Juli 2024 - 15:04
"Uang panai
merupakan sejumlah uang yang wajib diserahkan oleh calon mempelai laki-laki
kepada pihak keluarga calon istri. Uang tersebut nantinya akan digunakan
sebagai biaya resepsi perkawinan dan ini belum termasuk mahar," ungkap
Baihaqi, di lansir dari halaman Tirto.id.
Uang panai merupakan salah satu tradisi yang berasal dari Suku Bugis. Uang tersebut
merupakan sejumlah uang tunai yang di berikan oleh pihak laki-laki kepada pihak
keluarga calon istri.
Uang pemberian dari pihak
laki-laki nantinya akan di gunakan oleh pihak keluarga perempuan untuk memenuhi
kebutuhan pernikahan mempelai perempuan seperti resepsi. Dan ini menjadi salah
satu rukun dalam pesta perkawinan adat suku bugis.
Tak sama seperti
pemberian uang sunrang yakni sesuai dengan kerelaan pihak keluarga laki-laki
dan berdasarkan status sosial kedua belah pihak. Penentuan uang panai sendiri
merupakan hasil keputusan dari kedua keluarga mempelai, bahkan tak jarang
terjadi saling tawar-menawar. Sehingga bisa memerlukan waktu yang berlarut
larut karena masing-masing dari kedua keluarga bertahan dengan dominal uang
yang akan diberikan dan di terima.
Pemberian uang panai
merupakan salah satu kewajiban yang tak bisa di abaikan. Uang tersebut bukan di
gunakan sebagai mahar perkawinan melainkan sebagai uang adat dengan jumlah yang
telah di tentukan dari kedua belah pihak atau keluarga.
Besarnya nomonal uang
panai tidak selalu dianggap memiliki nilai rupiah saja, melainkan lebih dari
itu. Besarnya uang yang berikan itu dapat mengangkat wibawa keluarga perempuan
di mata masyarakat. sebab semakin besar pihak perempuan mendapatkan uang panai
dari pihak laki-laki, berarti keluarga yang bersangkutan maupun segenap
keluarga dan kerabatnya akan merasa
wibawanya juga naik. Sehingga tak jarang ada kesan bahwa besarnya uang belanja
itu menandakan tinggi rendahnya status sosial mereka di tengah-tengah masyarakat.
Burhan Kadir, salah satu
budayawan Bugis-Makassar dari Universitas Hasaniddin (Unhas) mengungkapkan,
uang panai bagi Masyarakat Bugis-Makassar merupakan hal yang sangat penting
dibandingkan mahar. Seperti itulah kedudukan uang panai pada tradisi pernikahan
suku Bugis. “Bagi Masyarakat suku Bugis panai ini memiliki kedudukan yang
sangat penting, bahkan bisa dikatakan wajib ketimbang mahar,” terangnya kepada wartawan
detiksulsel.
Burhan menambahkan, uang
panai bukan hanya sebagai uang belanja untuk membiayai kebutuhan pernikahan dipihak
mempelai perempuan saja, akan tettapi memiliki makna yang dalam pada proses
pernikahan di suku Bugis. Uang panai juga melambangkan perjuangan, keuletan dan
kerja keras dari sang mempelai pria untuk meminang seorang Wanita suku Bugis.
“Dalam tradisi perkawinan
suku Bugis pihak laki-laki yang menanggung pesta pihak perempuan, inilah
kemudian yang berwujud uang panai. Ada keuletan dan kerja keras sehingga panai
itu tercapai,” uangkapnya.
Selain melambangkan
keuletan dan kerja keras, lanjut Burhan, uang panai ini menjadi “penjaga” nilai
status sosial keluarga, oleh karna itu besarnya uang tersebut di tentukan oleh
pihak kedua keluarga mempelai Wanita dan laki-laki. Nilai uang yang disepakati
biasanya dilihat dari status sosial keluarga
mempelai Wanita. “Uang panai tinggi biasanya diberikan kepada keluarga
dengan status sosial tinggi, seperti anak bangsawan, pejabat, orang kaya,
ulama, atau yang berpendidikan tinggi,” tuturnya.
Sejarah uang panai sendiri
suda ada sejak zaman dulu sebelum ajaran islam masuk, dulu orang Bugis
menyebutnya sebagai tradisi mette, yaitu harta penggelli dara atau pembeli anak
perempuan, Ketika melamar gadis keturunan bangsawan. Dalam prakteknya nantinya
mempelai laki-laki akan memberikan sarung sutera dan baju adat suku bugis yang
di dalamnya suda diselipkan uang tunai atau rella’ yaitu mata uang bugis kuno.
Namun, Ketika ajaran islam
mulai masuk tradisi ini kemudian mengalami akulturasi, sehingga uang pamai yang
dilakukan di zaman sekarang merupakan hasil pertemuan anatara adat bugis dan
syariat islam., melansir dari tirto.id.
Mengutip dari salah satu
jurnal “Uang Pabai Sebagai Salah Satu Syarat Perkawinan Pada Suku Bugis-Makassar,”
menenrangkan bawha, uang panai biasanya akan ditentukan sebelum proses lamaran
dilangsungkan, sebelum proses lamaran bias any keluarga dari kedua mempelai akan
bertemu dan membahas besarnya uang panai dan mahar yang akan diberikan oleh pihak
laki-laki. Proses ini biasanya di sebut dengan ma’manumanu’.
Besarnya uang panai
ini bisa diatur dengan baik tanpa
memberatkan pihak laki-laki dan disisi lain citra keluarga dari pihak perempuan
tetap terjaga, proses penentuan uang panai sebaiknya hanya melibatkan keluarga
inti dari kedua bela pihak.
Namun seiring dengan
perkembangan zaman, makna uang panai atau yang disebut panaik telah mengalami
pergeseran. Hari ini besarnya uang panai tidak hanya menjadi lambang keuletan
dari pihak laki-laki ataupun menjaga nilai status sosial dari mempelai Wanita
saja. Namun, besarnya uang panai hanya sebagai penjaga gengsi meskipun status sosialnya
bukan berasal dari kalangan atas.
Burhan Kembali menambahkan,
bahkan tidak sedikit pihak perempuan ikut menutupi nominal panai demi menjaga gengsi. Sehingga uang
panai yang seharusnya diberikan oleh pihak keluarga laki-laki kepada perempuan,
bergeser menjadi ajang patungan agar terlihat fantastis.
“Ada sekarang yang
sangat jau berubah, ada ‘main mata’ dari pihak perempuan dan pihak laki-laki
dalam hal uang panai. Biasanya angka yang diberikan oleh pihak laki-laki
berbeda dengan yang disebutkan dalam akad karena pihak dari perempuan suda
menambah nominal uang panai itu agar terlihat fantastis dan menaikkan citra
keluarga mereka,” pungkasnya.