Uang Panai Kewajiban yang Tak Bisa Diabaikan

Senin, 01 Juli 2024 - 15:04
Bagikan :
Uang Panai Kewajiban yang Tak Bisa Diabaikan
Tradisi uang panai dalam pernikahan tradisional di Tarakan, Kalimantan Utara. Gambar diambil pada 16 Oktober 2017.[SHUTTERSTOCK/ANTONI HALIM].

"Uang panai merupakan sejumlah uang yang wajib diserahkan oleh calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon istri. Uang tersebut nantinya akan digunakan sebagai biaya resepsi perkawinan dan ini belum termasuk mahar," ungkap Baihaqi, di lansir dari halaman Tirto.id.

Uang panai merupakan salah satu tradisi yang berasal dari Suku Bugis. Uang tersebut merupakan sejumlah uang tunai yang di berikan oleh pihak laki-laki kepada pihak keluarga calon istri.

Uang pemberian dari pihak laki-laki nantinya akan di gunakan oleh pihak keluarga perempuan untuk memenuhi kebutuhan pernikahan mempelai perempuan seperti resepsi. Dan ini menjadi salah satu rukun dalam pesta perkawinan adat suku bugis.

Tak sama seperti pemberian uang sunrang yakni sesuai dengan kerelaan pihak keluarga laki-laki dan berdasarkan status sosial kedua belah pihak. Penentuan uang panai sendiri merupakan hasil keputusan dari kedua keluarga mempelai, bahkan tak jarang terjadi saling tawar-menawar. Sehingga bisa memerlukan waktu yang berlarut larut karena masing-masing dari kedua keluarga bertahan dengan dominal uang yang akan diberikan dan di terima.

Pemberian uang panai merupakan salah satu kewajiban yang tak bisa di abaikan. Uang tersebut bukan di gunakan sebagai mahar perkawinan melainkan sebagai uang adat dengan jumlah yang telah di tentukan dari kedua belah pihak atau keluarga.

Besarnya nomonal uang panai tidak selalu dianggap memiliki nilai rupiah saja, melainkan lebih dari itu. Besarnya uang yang berikan itu dapat mengangkat wibawa keluarga perempuan di mata masyarakat. sebab semakin besar pihak perempuan mendapatkan uang panai dari pihak laki-laki, berarti keluarga yang bersangkutan maupun segenap keluarga dan kerabatnya  akan merasa wibawanya juga naik. Sehingga tak jarang ada kesan bahwa besarnya uang belanja itu menandakan tinggi rendahnya status sosial mereka di tengah-tengah masyarakat.

Burhan Kadir, salah satu budayawan Bugis-Makassar dari Universitas Hasaniddin (Unhas) mengungkapkan, uang panai bagi Masyarakat Bugis-Makassar merupakan hal yang sangat penting dibandingkan mahar. Seperti itulah kedudukan uang panai pada tradisi pernikahan suku Bugis. “Bagi Masyarakat suku Bugis panai ini memiliki kedudukan yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan wajib ketimbang mahar,” terangnya kepada wartawan detiksulsel.

Burhan menambahkan, uang panai bukan hanya sebagai uang belanja untuk membiayai kebutuhan pernikahan dipihak mempelai perempuan saja, akan tettapi memiliki makna yang dalam pada proses pernikahan di suku Bugis. Uang panai juga melambangkan perjuangan, keuletan dan kerja keras dari sang mempelai pria untuk meminang seorang Wanita suku Bugis.

“Dalam tradisi perkawinan suku Bugis pihak laki-laki yang menanggung pesta pihak perempuan, inilah kemudian yang berwujud uang panai. Ada keuletan dan kerja keras sehingga panai itu tercapai,” uangkapnya.

Selain melambangkan keuletan dan kerja keras, lanjut Burhan, uang panai ini menjadi “penjaga” nilai status sosial keluarga, oleh karna itu besarnya uang tersebut di tentukan oleh pihak kedua keluarga mempelai Wanita dan laki-laki. Nilai uang yang disepakati biasanya dilihat dari status sosial keluarga  mempelai Wanita. “Uang panai tinggi biasanya diberikan kepada keluarga dengan status sosial tinggi, seperti anak bangsawan, pejabat, orang kaya, ulama, atau yang berpendidikan tinggi,” tuturnya.

Sejarah uang panai sendiri suda ada sejak zaman dulu sebelum ajaran islam masuk, dulu orang Bugis menyebutnya sebagai tradisi mette, yaitu harta penggelli dara atau pembeli anak perempuan, Ketika melamar gadis keturunan bangsawan. Dalam prakteknya nantinya mempelai laki-laki akan memberikan sarung sutera dan baju adat suku bugis yang di dalamnya suda diselipkan uang tunai atau rella’ yaitu mata uang bugis kuno.

Namun, Ketika ajaran islam mulai masuk tradisi ini kemudian mengalami akulturasi, sehingga uang pamai yang dilakukan di zaman sekarang merupakan hasil pertemuan anatara adat bugis dan syariat islam., melansir dari tirto.id.

Mengutip dari salah satu jurnal “Uang Pabai Sebagai Salah Satu Syarat Perkawinan Pada Suku Bugis-Makassar,” menenrangkan bawha, uang panai biasanya akan ditentukan sebelum proses lamaran dilangsungkan, sebelum proses lamaran bias any keluarga dari kedua mempelai akan bertemu dan membahas besarnya uang panai dan mahar yang akan diberikan oleh pihak laki-laki. Proses ini biasanya di sebut dengan ma’manumanu’.

Besarnya uang panai ini  bisa diatur dengan baik tanpa memberatkan pihak laki-laki dan disisi lain citra keluarga dari pihak perempuan tetap terjaga, proses penentuan uang panai sebaiknya hanya melibatkan keluarga inti dari kedua bela pihak.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, makna uang panai atau yang disebut panaik telah mengalami pergeseran. Hari ini besarnya uang panai tidak hanya menjadi lambang keuletan dari pihak laki-laki ataupun menjaga nilai status sosial dari mempelai Wanita saja. Namun, besarnya uang panai hanya sebagai penjaga gengsi meskipun status sosialnya bukan berasal dari kalangan atas.

Burhan Kembali menambahkan, bahkan tidak sedikit pihak perempuan ikut menutupi  nominal panai demi menjaga gengsi. Sehingga uang panai yang seharusnya diberikan oleh pihak keluarga laki-laki kepada perempuan, bergeser menjadi ajang patungan agar terlihat fantastis.

“Ada sekarang yang sangat jau berubah, ada ‘main mata’ dari pihak perempuan dan pihak laki-laki dalam hal uang panai. Biasanya angka yang diberikan oleh pihak laki-laki berbeda dengan yang disebutkan dalam akad karena pihak dari perempuan suda menambah nominal uang panai itu agar terlihat fantastis dan menaikkan citra keluarga mereka,” pungkasnya.

Penulis
Zulfikar
Editor
Ibrahim La Haris

Tags :