Melihat Budaya Masyarakat Desa Adat Tenganan

Senin, 05 Agustus 2024 - 07:33
Bagikan :
Melihat Budaya Masyarakat Desa Adat Tenganan
2 wanita berpakaian adat duduk di atas ayunan kayu dengan kedua pria di sebelah kanan dan kirinya. [kolomdesa.com]

alfikr.id, Bali- Senja di Desa Adat Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali, tak pernah kehilangan pesonanya. Di tengah halaman, tampak sekelompok remaja bermain ayunan, disoroti cahaya senja yang kemerah-merahan. Seorang perempuan muda dengan busana adat berwarna kuning keemasan duduk di atas ayunan tua. Tangannya memegang erat kedua belah kayu di samping, sementara seorang laki-laki dengan wajah penuh semangat bersiap menggerakkan ayunan itu.

Mereka menyebutnya “meayunan,” sebuah permainan khas masyarakat Desa Tenganan yang melibatkan para truna (remaja putra) dan daha (remaja putri). Namun, ini bukan sekadar permainan biasa. Meayunan adalah bagian dari ritual Usaba Sambah, sebuah ritual penting untuk menandai peralihan para remaja ke usia dewasa.

“Permainan ini hanya bisa dinaiki oleh para daha,” kata Bendesa Adat Tenganan, Putu Suarjana.

Daha adalah sebutan untuk perempuan desa yang telah melalui berbagai tahapan upacara adat dan siap menuju tahap selanjutnya dalam kehidupan mereka.

“Dikatakan sebagai remaja putri itu bukan karena berusia 17 tahun atau sudah menstruasi, tetapi mereka yang sudah selesai menjalani beberapa tahapan upacara adat di Desa Tenganan,” tambahnya.

Ayunan Jantra berusia ratusan tahun. [Dewa Krisna/Merdeka.com]

Ayunan besar berbentuk menyerupai kincir angin ini memiliki empat poros dan delapan tempat duduk yang harus ditempati oleh para daha agar seimbang. Ketika semua tempat duduk terisi, truna akan mengayunkan ayunan dari tengah sebanyak tiga kali, pertama ke arah utara lalu ke selatan. Gerakan ini melambangkan tugas seorang suami dalam menafkahi keluarganya.

Sambil ayunan terus berputar, para daha diingatkan akan pentingnya kesiapan dalam menghadapi roda kehidupan yang selalu berputar. “Ayunan ini kita ibaratkan seperti bumi yang terus berputar, kadang di atas kadang di bawah. Jadi, ini untuk mengingatkan remaja putri jika dewasa nanti harus siap ketika berada di atas maupun di bawah,” jelas Putu Suarjana.

Mekare-kare: Perang Pandan

Berbeda dengan lebih tenangnya prosesi meayunan, ada tradisi lain yang jauh lebih dinamis dan menegangkan: mekare-kare atau perang pandan. Tradisi ini adalah ajang bagi para truna Desa Tenganan untuk menunjukkan keberanian mereka di hadapan masyarakat.

Masih dalam rangkaian ritual Usaba Sambah, tradisi mekare-kare hanya diadakan sekali dalam setahun dan berlangsung selama dua hari di depan balai pertemuan desa. Hari pertama diadakan di Patemu Kaja (Balai Utara), dan hari kedua di depan Bale Agung (Balai Luhur).

Sore itu, para peserta mengenakan pakaian adat, kain tenun gringsing, dengan kamen (sarung), saput (selendang), dan udeng (ikat kepala). Mereka berkumpul di muka Balai Desa untuk memulai tradisi tahunan ini.

Sebelum perang pandan dimulai, para truna berkumpul di pendopo untuk meneguk segelas tuak. Ritual ini dipercaya dapat memberikan semangat dan keberanian ekstra. Setelah itu, mereka berjalan menuju gelanggang dengan bersenjatakan daun pandan yang berduri dan tameng yang terbuat dari anyaman rotan.

2 orang truna bersenjatakan daun pandan dan tameng rotan. [Amril Nuryan/Shutterstock]
Dengan iringan tabuh gamelan selonding, para truna memulai perang pandan. Mereka saling mengayunkan senjata daun pandan ke tubuh satu sama lain dengan gesit. Meskipun darah berkucur di tubuh mereka, pertandingan terus berlanjut selama satu menit atau hingga salah satu dari mereka menyerah.

Para truna dibaluri boreh setelah melaksanakan perang pandan. [Instiki.ac.id]
Setelah pertandingan selesai, luka-luka para truna diobati dengan boreh, ramuan tradisional yang terbuat dari kunyit, lengkuas, bangle, dan cuka. Menurut masyarakat desa, ramuan ini sangat ampuh untuk menyembuhkan luka gores akibat sayatan duri pandan.

“Terbuat dari kunyit, lengkuas, bangle, dan cuka. Semua bahan itu dicampur jadi satu dan digunakan untuk mengobati luka yang dialami oleh para peserta,” ujar Putu Suarjana.

Para truna makan bersama selesai mengikuti perang pandan. [Instiki.ac.id]

Setelah selesai melaksanakan tradisi mekare-kare, para truna melanjutkan dengan megibung, yaitu makan bersama. Beralaskan daun pisang, mereka menikmati nasi dan lauk pauk dalam suasana kebersamaan. Tidak ada dendam di antara para truna, hanya semangat dan persaudaraan yang semakin kuat.

Perang pandan bukanlah ajang untuk menyombongkan diri, melainkan sebuah bentuk penghormatan. “Perang dalam tradisi ini bukan berarti perang melawan musuh. Tetapi, sebagai bentuk penghormatan oleh para truna. Karena mereka yang nantinya akan bertanggung jawab terhadap keluarga dan desa,” jelas Putu Suarjana.

Melalui meayunan dan mekare-kare, Desa Tenganan menunjukkan betapa kuatnya tradisi dan kebudayaan mereka dalam membentuk karakter dan kedewasaan para remajanya. Di balik keindahan senja dan semaraknya upacara adat, terdapat nilai-nilai kehidupan yang terus dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Penulis
Randy Eka Saputra
Editor
Adi Purnomo S

Tags :