Pergeseran Selera Menjadi Penyebab Kuliner Kurang Diminati
Kamis, 06 Oktober 2022 - 12:42alfikr.id, Bangka Belitung- Kalau lah tuan pergi ke tanjung, berdayung sampan naik perahu. Ini disebut lempah urung (baca: urung), lempah tradisional sejak zaman dahulu. Demikianlah Cik Kario (44) membacakan pantun sebelum memasak lempah urung.
Cik Kario sapaan akrabnya mengatakan, pantun dan lempah, sama-sama menjadi ciri khas dan identitas masyarakat Desa Menduk, Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Tradisi memasak lempah sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Pulau Bangka, bahkan setiap keluarga memiliki resep lempah tradisional yang diwariskan secara turun-temurun.
Bahan yang digunakan dalam memasak lempah biasanya tak jauh-jauh dari sumber daya yang ada di sekitar mereka, seperti halnya, cabai rawit, bawang merah serai, lengkuas, kunyit, terasi dan daun kelempah.
Semua bahan nanti ditumbuk kasar tidak sampai tekstur lembut, seperti lempah lainnya, kunyit bertujuan untuk memberi warna pada kuah lempah. Warna-warna tersebut tersemat pada menu makanan yang lebih populer, yaitu lempah kuning yang biasanya diracik dengan ikan.
Jenis protein lain yang bisa diolah menjadi lempah biasanya seperti daging ayam, iga sapi, pelanduk (kancil), dan udang. Sedangkan Cik Kario biasanya menggunakan ayam hutan (tugang) sebagai bahan utamanya. Tugang yang digunakan masih perawan atau belum pernah bertelur karena dagingnya lebih empuk dan gurih dibandingkan ayam boiler. Dulunya, burung punai yang digunakan.
Dilansir dari Kompas.id urong artinya tidak sampai atau dimasak hingga belum menjadi lempah kuning yang identik dengan sensasi pedas dan asam. Sementara lempah urong cenderung 'ringan' dan tidak terlalu asam karena menggunakan puncuk daun kelapa. Sedangkan di daerah lain biasanya rasa asam menggunakan puncuk daun nangka, terong asam, puncuk daun kedondong, dan daun medang perawas.
“Dulu, banyak warga yang bekerja sebagai petani sahang (merica) memasak Lempah Urong di kebun untuk dijadikan santapan makan siang. Baik laki-laki maupun perempuan harus pandai melempah,” ujarnya kepada wartawan Kompas.id.
Dulunya, masyarakat tak pernah melewatkan hari tanpa menyantapnya. Sebab lempah diyakini menjadi sumber semangat dan energi dalam melalui segudang aktivitas. Cik mengatakan, bahan dan teknik memasak lempah urong tidak jauh berbeda dengan yang dulu. Misalnya, kayu bakar untuk tungku menggunkan kayu pohon pelawan karena memiliki panas yang stabil dan tidak cepat menjadi arang serta masakanya memiliki aroma yang khas.
“Tidak semua masyarakat tahu resep lempah tradisional kerena kebanyakan resep diturunkan dengan cara mengamati nenek atau ibunya,” kata dia.
Lempah urong sudah jarang dimasak oleh masyarakat setempat. Menurut Cik, pergeseran selera menjadi penyebab kuliner itu kurang diminati. Makanan modern lebih dilirik karena kekinian dan dianggap berkelas. Menurutnya, lempah tidak hanya membuat perut kenyang, rimpang kunyit yang digunakan pada lempah dipercaya dapat menjaga kesehatan pencernaan.
“Kalau orang Jawa minum jamu dari kunyit, sedangkan kami orang Bangka mengonsumsi kunyit lewat kuah lempah. Makan lempah bisa bikin angin dari tubuh keluar,” ujar Cik dengan mantap. Sejak tahun 2015 lempah tercatat sebagai warisan budaya tak benda dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung