Krisis Iklim dan Kebijakan Tata Ruang Memperparah Bencana di Kota Batu

Selasa, 11 Oktober 2022 - 19:47
Bagikan :
Krisis Iklim dan Kebijakan Tata Ruang Memperparah Bencana di Kota Batu
Sejumlah anak bermain genangan banjir di Kelurahan Bareng, Malang, Jawa Timur, Rabu (6/1/2021). Tingginya intensitas hujan yang terjadi di kawasan tersebut menyebabkan banjir di sejumlah titik. [ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/]

alfikr.id, Malang-Sekira Jumat sore (07/10/2022), aliran air Sungai Paron, Dusun Beru, Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu meluap. Hujan deras yang mengguyur Kota Batu, itu membuat air bah menggenangi beberapa rumah dan jalan raya tertutup lumpur sungai. Banjir itu terjadi di tiga desa, yakni Desa Bumiaji, Tulungrejo, dan Sumberejo.

“Ada 18 rumah warga terendam banjir. Kejadian ini dikarenakan Kalii Paron tidak mampu menahan debit air akibat intensitas hujan yang sangat tinggi,” terang Kasi Logistik dan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu M Rochim, seperti dikutip Radar Malang, Selasa (11/10/2022).    

Kepala BPBD Kota Batu, Agung Sedayu menilai banjir di Jalan Pangeran Diponegoro, Desa Tulungrejo terjadi sekitar pukul 17.00 WIB. Dikutip dari Kompas.com, Selasa (11/10/2022) dia menyebutkan, peristiwa itu disebabkan saluran drainase air tersumbat karena adanya material batu dan sampah sehingga meluber dan menggenangi jalan. Saluran drainase tersebut memiliki lebar 40 sentimeter dan kedalaman 50 sentimeter. 

Sedangkan, Alfi Nurhidayat, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Batu menganggap banjir dikarenakan luberan air sungai ke Jalan Raya Mbah Joyo. Dia mengaku, melakukan pembersihan material banjir di esok harinya. 

“Kami mendapati banyak batang kayu dan sampah tersangkut di pintu air,” ujar Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan  Penataan Ruang (DPUPR) Kota Batu, Alfi Nurhidayat, dilansir dari Malangtimes.com, Selasa (11/10/2022). 

Banjir yang menerjang Kota Batu bukan kejadian pertama. Catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur dan Badan Penanggulangan Bencana Kota Batu merekam persoalan banjir di Kota Batu intensitasnya semakin sering. Terutama saat hujan dengan durasi yang cukup lama. Temuan WALHI Jatim menyebutkan, dalam empat tahun terakhir peristiwa bencana di Kota Batu mengalami kenaikan cukup signifikan. 

Pada tahun 2018 ada 95 kejadian, lalu pada tahun 2019 bertambah menjadi 115 kejadian, pada tahun 2020 bertambah menjadi 114 kejadian dan pada tahun 2021 bertambah menjadi 152 kejadian. Pada tahun 2021 ada kenaikan kejadian bencana cukup signifikan yang tersebar di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Bumiaji sebanyak 74 kejadian, Kecamatan Batu sebanyak 53 kejadian dan Kecamatan Junrejo 25 kejadian. 

Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif WALHI Jatim menegaskan bahwa dengan adanya peningkatan jumlah bencana tersebut maka tingkat kewaspadaan terhadap bencana perlu ditingkatkan. “Apalagi saat musim penghujan yang kerap kali menyebabkan tanah longsor dan banjir, karena berkurangnya ruang resapan dan tangkapan air, khususnya ruang terbuka hijau yang banyak beralih fungsi,” kata Wahyu.  

Tabel bencana di Kota Batu tahun 2018-2021 (WALHI Jatim)

Krisis Iklim dan Alih Fungsi Ruang Memperparah Bencana

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat data curah hujan di Kota Batu cukup tinggi.  Pada bulan Oktober 2022 berada pada angka 155,90 mm kubik, lalu bulan November 2022 ada 284,60 mm kubik dan bulan Desember 2022 ada 314,90 mm kubik. Secara prediktif terdapat peningkatan curah hujan jika dibandingkan dengan pada tiga tahun terakhir pada bulan yang sama.

“Melihat peningkatan curah hujan pada bulan Oktober, November dan Desember, lalu ditambah dengan data curah hujan. Data tersebut menunjukkan sebuah anomali cuaca, di mana curah hujan cenderung meningkat, meski cuaca tampak terik, tentunya kondisi ini susah untuk diprediksi. Anomali cuaca merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim dan penanda krisis iklim,” ungkap Wahyu dalam keterangan tertulis yang diterima alfikr.id.

Menghadapi situasi tersebut, BPBD Kota batu menerapkan status waspada hingga April 2023. Dilansir dari Times Indoensia, Selasa (11/10/2022) BPBD mengaku sedang melakukan kaji cepat pemetaan ancaman bencana saat musim penghujan. Kaji cepat ini dilakukan BPBD untuk melengkapi data terkini dari peta bencana di Kota Batu yang sudah ada.

"Jadi melalui data tersebut dapat kami gunakan sebagai langkah melakukan pencegahan dan meminimalisir dampak apabila bencana itu sampai terjadi," ujar Kasi Kedaruratan dan Logistik BPBD Kota Batu, Achmad Choirur Rochiim kepada Times Indonesia. 

Mengutip beberapa sumber, BPBD Kota batu akan meningkatkan kewaspadaan melalui mitigasi bencana, mulai dari perbaikan jaringan drainase hingga pelebaran sungai. Padahal, Wahyu menilai, persoalan banjir tidak serta merta persoalan infrastruktur dan mitigasi. Sebab pada dasarnya, dia menerangkan, kejadian banjir diperparah oleh krisis iklim dan alih fungsi ruang. “Kondisi tersebut yang dibaca sebagai bahaya hidrometeorologi, di mana perpaduan krisis iklim dan perubahan ruang meningkatkan resiko bencana,” terangnya. 

Bagan komparasi curah hujan bulan Oktober-November-Desember. [WALHI Jatim] 

Pradipta Indra, Manajer Hukum dan Kebijakan Publik WALHI Jatim mengungkapkan, di Kota Batu persoalan alih fungsi ruang acap kali tidak dilihat sebagai ancaman. Pasalnya hingga hari ini ruang terbuka hijau Kota Batu masih berada di angka 12 persen. Dia mengungkapkan lahan hijau di Kota Batu kian menyusut sejak tercatat awal pada tahun 2012 sekitar 6.034,62 hektare. Namun sejak tahun 2019 terjadi penurunan secara signifikan menjadi sekitar 5.279,15 hektare. 

“Semetara untuk kawasan resapan dan tangkapan air yang mayoritas berada di kawasan hutan jika merujuk pada hasil citra satelit, kurang lebih ada sekitar 348 hektare hutan primer di Kota Batu hilang dalam 20 tahun terakhir,” ungkapnya. Kondisi tersebut, kata Indra, selaras dengan peningkatan jumlah hotel di Kota Batu. Di tahun 2018 967 hotel, dan bertambah menjadi 1.003 pada tahun 2019. Sedangkan pada tahun 2020 bertambah menjadi 1.005 hotel. 

“Bertambahnya jumlah hotel juga didukung dengan adanya proses pelanggaran penataan ruang di mana dalam LHP BPK tahun 2020 terdapat 76 bangunan yang belum mempunyai IMB, hal ini menunjukkan bagaimaran buruknya penataan ruang di Kota Batu,” imbuh Indra. 

Pegiat Konservasi Lingkungan Hidup Kota Batu, Bayu Sakti menilai, kebijakan Pemerintah Kota Batu lemah dalam menjaga daya dukung lingkungan. Dikutip dari Malangvoice.com, Bayu menegaskan banjir yang terjadi dipicu oleh akumulasi pembangunan yang hanya mementingkan paradigma pragmatis dan hanya berorientasi pada ekonomi, tetapi abai kelestarian ekologis. 

“Saya menilai, kebijakan berbasis pelestarian lingkungan bukan ditempatkan sebagai prioritas. Apa kebijakan ini menghalangi pembangunan fisik untuk mengejar angka-angka pertumbuhan ekonomi,” ujar dia.

Di samping itu, Bayu juga menyoroti minimnya area resapan. Sebetulnya, Kota Batu telah membentuk Perwali Kota Batu nomor 21 tahun 2015 tentang pembuatan sumur resapan/biopori. Namun legal formal itu terkesan superfisial tanpa ada implementasi nyata.

“Belum lagi, adanya alih fungsi lahan di kawasan hutan. Saat ini dikomodifikasi sekedar perhitungan ekonomi jangka pendek. Selama ini masih jargon saja kebijakan berorientasi lingkungan,” ujar Bayu kepada Malangvoice.com. “Kalau berorientasi konservasi, harus tegas area hutan ini jangan dialihfungsikan untuk hal-hal lain. Karena fungsinya sebagai area tangkapan,” imbuhnya.

Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kepentingan Siapa?

Dengan hilangnya kawasan resapan dan tangkapan air pada wilayah, serta buruknya penataan ruang kota, kata Indra, membuat Kota Batu rentan dengan adanya bencana, khususnya semakin meningkatnya bahaya hidrometeorologi. Dia menegaskan peristiwa banjir pada tanggal 7 Oktober 2022 merupakan dampak nyata dari buruknya penataan ruang baik karena alih fungsi lahan resapan untuk hotel, wisata buatan dan peruntukan lain, salah satunya untuk pertanian semusim pada kawasan yang tidak diperuntukkan. 

Indra menyebutkan, banjir yang tersebar di tiga desa itu berada di wilayah tengah dan secara topografi merupakan aliran air untuk dibawa menuju Brantas. Daerah tersebut merupakan kawasan zona rawan bencana. Di sisi lain banjir yang terjadi itu juga mengakibatkan sedimentasi pada wilayah sungai. Hal itu dapat dilihat dari banjir yang menyisakan lumpur di sepanjang aliran yang dilewati. 

Banjir berlumpur itu, Indra menerangkan, selaras dengan kondisi hulu yang hancur terutama pada kawasan hutan yang tutupannya semakin menurun disebabkan berubah menjadi lahan pertanian. Sehingga kawasan hulu yang memiliki kemiringan tinggi, Indra melanjutkan, pada akhirnya tidak mampu lagi menopang laju erosi tanah yang diakibatkan hujan. 

“Maka tidak heran rata-rata banjir yang terjadi di wilayah Kota Batu selalu membawa lumpur atau material yang ada di wilayah perbukitan seperti batu, kerikil dan pasir,” katanya.

Buruknya pengelolaan hutan sebagai kawasan esensial dan buruknya penataan ruang di wilayah Kota Batu, kata Indra, pada dasarnya semakin meningkatkan resiko bencana melalui peningkatan bahaya hidrometeorologi. Indra menilai, persoalan tersebut diakibatkan oleh kebijakan tata ruang yang tidak menyesuaikan kondisi ruang, tidak transparan dan partisipatif. 

Salah satunya dengan keberadaan revisi Perda RTRW Kota Batu yang dibuat bukan untuk keberlanjutan kawasan, tetapi lebih didorong oleh investasi. Indra mencontohkan pemaksaan Pemerintah Kota Batu untuk membangun Cable Car. “Beberapa temuan kami, melewati kawasan mata air dan hutan lindung,” ungkap Indra. 

“Hal ini tergambar dalam beberapa catatan kami pada Ranperda RTRW Kota Batu. Entah dasarnya apa, terutama kami sampai saat ini menanyakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dan peta rencana ruang yang sampai detik ini tidak diberikan oleh Pemerintah Kota Batu, adapun diberikan tetapi kualitasnya buruk dan sepotong-sepotong,” imbuh Indra mendedakan. 

Dia menilai, sejak awal Pemerintah Kota Batu tidak ada itikad baik untuk transparan dan partisipatif sebagaimana mandat Undang-undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 pada pasal 65 khususnya. Indra mendedahkan hasil kajian dokumen RTRW melalui pembacaan Ranperda. Temuannya menyebutkan bahwa dalam aturan tersebut secara gamblang telah menurukan fungsi konservasi di Kecamatan Bumaji.

Padahal wilayah ini dalam Perda RTRW sebelumnya diperuntukan sebagai kawasan lindung dengan luasan hutan mencapai 6.698,5 hektare atau 61?ri luas kawasan hutan di Kota Batu. Perlu diketahui jika Kecamatan Bumiaji merupakan jantung bagi Malang Raya karena memiliki banyak sumber mata air salah satunya Umbul Gemulo. Sumber-sumber tersebut digunakan untuk menopang kebutuhan sehari – hari dan irigasi masyarakat di wilayah Malang Raya.

“Sehingga revisi Perda RTRW Kota Batu ini merupakan bentuk tidak seriusnya Pemerintah Kota Batu dalam melindungi kawasan dan keselamatan warganya, di mana bencana bukannya dicegah malah diundang untuk datang. Pun demikian selama proses kami menduga ada hal yang tidak diketahui oleh publik, di mana pembuatan revisi perda ini cenderung tertutup, tidak transparan akuntabel dan partisipatif, sehingga patut dicurigai ada muatan koruptif,” tegas Indra.

Indra menegaskan Pemerintah Kota Batu hanya akan mendatangkan bencana, ketika perencanaan tata ruang yang tidak berdasarkan kondisi ruang, dan tidak berkaca pada keberadaan geografis. Bagi dia, ketika banyak ruang yang dialihfungsikan menjadi kawasan industri baik jasa maupun wisata secara tidak terarah, tidak melalui proses panjang, asal-asalan, tidak transparan dan partisipatif, maka kebijakan yang sedang disusun oleh Pemerintah Kota Batu beserta konsultannya akan mengundang bencana dan mengabaikan keselamatan warga Kota Batu bahkan masa depan wilayah Malang Raya.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batu, Didik Subiyanto mengatakan, kondisi ini harus menjadi perhatian Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait upaya mengantisipasi kejadian serupa di kemudian hari. Kepada Radar Malang, dia meminta masyarakat untuk tidak menyalahkan pemerintah. Sebab seiring berjalannya waktu, alih fungsi lahan menjadi bangunan semakin merajalela di Kota Batu. Drainase-drainase yang ada terlihat semakin sempit sehingga ketika musim hujan tidak mampu menampung aliran air yang deras.

“Terutama resapan air juga semakin sedikit, peran pemerintah desa juga harus turut serta mencari solusi,” katanya.

Penulis
Abdul Haq
Editor
Abdul Razak

Tags :