Bermain-main ke Masa Lalu

Minggu, 01 Januari 2023 - 02:32
Bagikan :
Bermain-main ke Masa Lalu
permainan lempar tembikar yang di mainkan anak-anak pada tempo dulu, [foto: alfikr.id/Ahmad Baerosi]

alfikr.id, Probolinggo- Pada masa penjajahan Belanda, pendidikan bagi masyarakat pribumi adalah ilegal. Sehingga masyarakat pribumi menciptakan banyak permainan tradisional sebagai alternatif pembelajaran.

Sebuah permainan seperti lempar tembikar, kelincahan bambu, dan sudur merupakan permainan sederhana tapi menarik. Selain itu, kaya akan nilai filosofi yang bisa dipetik pelajaran dari permainan tersebut. Misal, permainan lempar tembikar, atau disebut juga Pindan, yang sangat disukai oleh anak-anak zaman dulu, terutama di pedesaan. 

Lempar tembikar merupakan salah satu permainan favorit anak-anak dan para remaja. Biasanya lempar tembikar dimainkan oleh tiga anak. Mereka membuat garis kotak persegi empat dan memanjang sebagai area permainan. Kemudian satu dari anak-anak itu mengambil pecahan genteng, lalu diletakkan di atas telapak kakinya.

Lalu anak itu meloncat-loncat dengan satu kaki, dari kotak yang satu ke kotak yang lain dengan lincah. Aturan mainnya, kaki tidak boleh menginjak garis dan tembikar yang di atas telapak kakinya itu tidak boleh jatuh. Sehingga diperlukan konsentrasi dan ketangkasan dalam memainkannya.

Dalam permainan lempar tembikar ini memperebutkan lahan atau wilayah yang harus dikuasai. Jika sudah menjadi pemilik satu kotak wilayah, maka peserta yang lain tak boleh menginjaknya. Hanya sang pemilik lah yang berhak. Kemudian terus mencoba mengusai kotak-kotak yang lain. Jika mau menginjakkan kakinya di kotak itu, maka harus sewa kepada sang pemilik. Sang pemilik punya hak untuk memukul satu kali sebagai harga sewanya.

Permainan ini mengandung pesan, bahwa sekecil apapun kesempatan kita untuk bergerak, kita harus melawan dan terus melawan. Dalam keadaan tersiksa, walau dengan satu kaki, bagaimana kita tetap mampu melewati rintangan dan memenangkannya. Hal ini merupakan bentuk penanaman semangat kerja keras dan pantang menyerah kepada anak-anak.

Selain itu, lempar tembikar juga melatih kecerdasan anak dalam penguasaan pasar. Sebelum berkembangnya dunia industri, penanaman kesadaran ekonomi kepada masyarakat sudah dilakukan melalui permainan tersebut. Namun semua refleksi itu terbenam, karena tertindih modernisasi dan perkembangan dunia teknologi. Permainan modern yang instan akhirnya lebih digemari oleh anak-anak dan remaja sekarang.

Lebih jauh, nama lain dari permainan lempar tembikar ini juga disebut dengan istilah coklak dan lumbung. Dahulu kala, ada seorang tokoh bernama Robin Tranattagori. Ia mendirikan sekolah Santineketan di India. Sekolah ini mengajarkan kepada anak-anak di India, bagaimana menciptakan proses pembelajaran non fiskal. Robin dan anak-anak itu memilih gunung sebagai tempat belajar. Karena mereka belajar bersama alam. Belajar berhitung, mempertahankan hidup (survive), dan menumbuhkan kamampuan falsafah hidup.

Pada saat Robin singgah ke Indonesia, ia bertemu dengan Ki Hajar Dewantoro dan akhirnya dikenalkan pada permainan lumbung. Robin pun terkesima hingga Ki Hajar diminta ke India untuk mengajarkan permainan ini. Menurut Robin, permainan lumbung menggambarkan perkembangan ekonomi Indonesia yang sudah tertata. Penanaman kesadaran ekonomi di Indonesia lebih awal dari pada di India.

Selain lempar tembikar, ada permainan yang tak kalah menarik, yaitu kelincahan bambu. Cara bermainnya yaitu ada empat anak yang sama-sama memegang bambu. Masing-masing anak memegang dua bambu dengan formasi menyilang. Kemudian ada satu anak berdiri di silangan bambu itu. Kemudian bambu dimainkan dengan gerakan tertutup-terbuka. Anak yang ada di tengah silangan bambu pun meloncat-loncat dengan gesit. Permainan ini bermanfaat untuk penguatan otot, dan mendidik anak agar memiliki ketangkasan menyelamatkan diri dalam keadaan terdesak.

Ketika bambu dimainkan, maka akan mengeluarkan keharmonisan bunyi seperti angklung. Dentuman-dentuman dari bambu yang saling beradu terdengar merdu. Ini memberi pelajaran, bahwa kita harus bisa menghadapi masalah dengan santun (memperhatikan etika dan estetika). Atau dikenal dengan istilah "hadapi dengan senyuman". Kelincahan bambu juga mengandung nilai-nilai sosial. Membangun budaya gotong royong dan kekompakan untuk melawan dan menyelamatkan diri. Beda dengan sekarang, yang sudah pindah ke permainan monopoli. Permainan yang membentuk ketahanan individual tanpa bantuan orang lain.

Di samping itu, permainan tradisional yang juga menarik adalah sudur. Biasanya dimainkan oleh enam anak yang dibagi menjadi tiga kelompok. Mereka membuat garis panjang dengan beberapa kotak. Pada permaianan ini, sang pemenang adalah anak yang ada di luar garis mampu lolos masuk, melewati hambatan musuh yang menghadang menjaga garis.

Dari permainan tradisional tersebut, sebenarnya mengajarkan kepada anak sejak dini untuk memiliki jiwa sosial yang tinggi. Anak-anak dan remaja dulu diajarkan permainan-permainan sebagai media penanaman semangat perlawanan. "Semua tempat adalah sekolah". Karena para orang tua dulu di zaman Ki Hajar Dewantoro tidak berani secara terbuka melakukan pemberontakan terhadap belanda.

Pada waktu itu, penjajah Belanda melarang proses pembelajaran. Rakyat pribumi tidak boleh cerdas. Karena nanti berpotensi terbukanya ruang perlawanan dan pemberontakan terhadap Belanda. Oleh karena itu, proses pembelajaran dilakukan melalui media permainan-permainan. Sebenarnya, melalui inilah angin revolusi dihembuskan.

Berbeda dengan sekarang, yang lebih terpaku pada proses pembelajaran berbentuk school day. Sekolah dari pagi hingga sore hari. Padahal sebenarnya hal itu hanyalah kedok bagi orang tua yang sibuk untuk menitipkan anaknya. Lebih mementingkan karir dari pada anak. Padahal bentuk pembelajaran begitu bukanlah solusi bagi anak-anak.

Anak-anak membutuhkan dunia eksperimentalia. Ruang untuk mencoba dirinya melakukan suatu hal dan mencari keniscayaan-keniscayaan. Seperti bermain dengan alam dan sekitarnya. Namun pada saat sekarang ini, anak-anak sudah terhipnotis dengan dunia teknologi, bermain dengan robot, atau lebih kerasan di dunia maya. Sehingganya, mereka cerdas dan pintar secara akademik, tapi lemah kesadarannya pada lingkungan sekitar dan tak bisa survive dengan alam.

Karena permainan yang berbau teknologi membuat anak lebih condong individual, beda halnya dengan permainan tradisional yang mengedepankan penanaman jiwa sosial. Namun tak bisa dipungkiri, sekarang adalah zaman teknologi.

Pada zaman teknologi ini, anak-anak tidak lagi bermain pecahan-pecahan genteng yang dimainkan, melainkan sudah pecahan-pecahan informasi. Oleh karena itu, kita harus bisa menguasainya, tapi jangan sampai terlarut dan tenggelam. Hingga menghilangkan nilai-nilai bijak yang ditanamkan para leluhur bangsa kita. 

Sumber: Majalah ALFIKR edisi 18, Januari-Maret 2011

Penulis: Ahmad Baerosi

Penulis
Zulfikar
Editor
Zulfikar

Tags :