Kuliah Tasawuf VI, K.H. Moh. Zuhri Zaini: Mengenal Maqamat dan Ahwal

Sabtu, 23 Desember 2023 - 04:34
Bagikan :
Kuliah Tasawuf VI, K.H. Moh. Zuhri Zaini: Mengenal Maqamat dan Ahwal
K.H. Moh. Zuhri Zaini, mengisi kuliah tasawuf ke-VI bertema Mengenal Maqamat dan Ahwal di Musala Riyadus Sholihin Pondok Pesantren Nurul Jadid, Kamis (21/12/2023) Malam. [Tangkapan Layar YouTube Universitas Nurul Jadid]

Hakikat ilmu tasawuf ialah kewajiban manusia sebagai hamba Allah untuk melaksanakan ibadah. Saat beribadah, manusia dianjurkan agar tunduk, patuh serta pasrah, sekaligus menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

“Ibadah itu merupakan jalan untuk menuju Allah, kita perlu menyadari bahwa kita sebetulnya sedang berjalan menuju Allah. Sebab kita akan kembali kepada Allah. Sadar atau tidak sadar, tentu kita akan kembali,” dawuh K.H. Moh. Zuhri Zaini, pada kuliah tasawuf VI, Kamis (21/12/2023).

Beliau menambahkan, jika kita sering membaca surah Yasin diakhir ayat berbunyi wa ilaihi turja’uun, artinya: kepada-Nya kamu dikembalikan. Penggalan ayat tersebut menunjukkan bahwa kita pasti akan kembali kepada Allah melalui kematian dan dibangkitkan kembali di hadapan-Nya.

Meskipun demikian, ada sebagian orang yang tidak sadar akan kembali kepada Allah. Orang seperti ini, menurut beliau, barangkali tidak percaya dan kurang peduli adanya akhirat, bahkan mungkin meyakini bahwa kelak dia tidak akan menghadap Allah.

"Sehingga dia tidak melakukan persiapan-persiapan untuk menghadap Allah," dawuhnya.

Namun, kata baliau, juga ada manusia yang menyadari bahwa dia akan kembali kepada Allah. Yaitu manusia-manusia yang beriman kepada Allah dan juga yakin dengan adanya akhirat. Oleh sebab itu, sebelum menghadap Allah kita harus melaksanakan segala perintah-Nya, salah satunya selalu berperilaku baik.

"Oleh karena itu karena kita akan kembali kepada Allah maka kita harus kembali dengan cara yang baik. Sebab tidak semua orang kembali kepada Allah itu dalam keadaan baik, dalam keadaan senang,” tambah beliau.

Selama hidup di dunia manusia harus selalu berperilaku baik terhadap Allah. Beliau mencontohkan, sama seperti para santri di pesantren, suatu ketika pasti akan kembali ke kampung halaman masing-masing. Ada sebagian santri yang pulang dengan keadaan baik, misal membawa prestasi dan ilmu. Sehingga membuat orang tuanya senang dan bangga.

Namun ada pula santri yang pulang dalam keadaan tidak baik dan tidak membawa apa-apa, sebab selama di pesantren tidak belajar dan sering melanggar, bahkan sampai dikeluarkan dari pesantren. Maka, kata beliau, santri seperti itu jika pulang orang tuanya pasti tidak senang dan marah-marah.

"Begitu pula kita kembali kepada Allah," dawuh K.H. Moh. Zuhri Zaini.

Tak hanya berperilaku baik kepada Allah, beliau menambahkan, namun kita harus berhubungan baik terhadap manusia dan juga hewan, dengan cara tidak mengganggu dan menzalaminya. Sebab, dari perilaku tersebut akan mendatangkan kebahagiaan, karena kita sudah dekat secara batin dengan Allah, manusia dan hewan.

"Misalnya seperti orang yang laten kepada binatang itu pasti binatang itu jinak kepada orang itu, misalnya seperti pawang itu. Sebab binatang itu kan ada jiwanya juga," dawuh beliau.

***

Pencapaian spritual dan kondisi batin dalam perjalanan menuju Allah itu disebut hal yang dijamak menjadi ahwal. Sedangkan maqamat adalah jamak dari kata maqam, yang berarti; tempat, kedudukan dan derajat. Sebagian ulama dalam hal ini, kata beliau, ada yang membedakan dan menyamakan antara maqamat dan hal. Ulama yang membedakan mangatakan bahwa maqamat itu disengaja atau bisa diupayakan, sedangkan hal itu tidak.

“Contohnya begini, seperti taubat. Taubat itu termasuk maqam tingkatan pertama. Maqam yang pertama dalam perjalanan spritual menuju Allah, tentu yang paling pertama itu ilmu,” dawuhnya.

Ilmu itu, kata beliau, hanya bekal masih belum berjalan. Sebab, hanya dengan ilmu kita tidak akan tersesat ketika perjalanan menuju Allah. Seperti ilmu tauhid itu sangat penting, karena keberadaan Allah itu tidak terlihat secara kasat mata. Oleh sebab itu, kita harus tahu ilmu tentang sifat-sifat Allah, agar tidak salah menghadap-Nya.

Seperti Syekh Abdul Qodir Jaelani, beliau mencontohkan, suatu ketika disaat beliau bermunajat kepada Allah, datang setan untuk menggodanya. Setan itu berbentuk diri seperti sinar. Dari sinar itu terdengar sebuah suara, "Wahai Abdul Qadir sekarang aku memperbolehkan kamu melakukan perbuatan-perbuatan yang haram”.

Meski yang keluar adalah sinar yang menyerupai Allah. Namun Syekh Abdul Qadir tahu kalau itu bukan Allah, beliau menjawab suara itu dengan balasan, "Wahai setan terkutuk". K.H. Zuhri Zaini menyampaikan, seandainya beliau tidak tahu sifat-sifat Allah, mungkin disangka Allah.

Tak sampai disitu, keesokan harinya Syekh Abdul Qadir bercerita kajadian itu, lalu sebagian orang ada yang bertanya, "Ya Syekh, Anda kok tahu bahwa itu adalah setan". Akhirnya beliau menjawab bahwa perkataan dari sinar itu menyuruh untuk berbuat haram, sedangkan Allah itu tidak akan menyuruh melakukan perbuatan yang buruk.

”Pasti yang diperintahkan itu baik-baik semua, kalau ada perintah buruk itu pasti bukan dari Allah,” dawuh K.H. Zuhri Zaini, menirukan jawaban Syekh Abdul Qadir.

K.H. Zuhri Zaini mengingatkan, bahwa untuk beribadah kepada Allah kita harus memiliki ilmu tentang ilmu ibadah. Semua itu dimulai dari akidah atau keyakinan-keyakinan, sekaligus akhlak. Termasuk ilmu tasawuf dan fikih, tata cara beribadah, ”Jadi harus punya ilmu,” tambahnya.

Selain itu, kata beliau, pada hakikatnya orang mencari ilmu itu merupakan perintah dari Allah. oleh sebab itu, kalau mencari ilmu karena Allah sebetulnya kita sudah melangkah, yaitu dalam beribadah. Beliau mengingatkan, apabila kita murni karena Allah, maka ilmu yang kita dapatkan pasti akan diamalkan. Sebaliknya, kalau tidak diamalkan berarti kita cari ilmu tidak karena Allah.

"Jadi sudah punya ilmu harus melangkah mengikuti ilmunya, apa langkah pertama sudah kita tahu tentang ilmu ibadah, langkah pertama itu tobat, ini maqamat taubat, taubat itu berbenah diri memperbaiki diri," kata beliau.

Manusia yang melakukan perbuatan baik setelah berbuat maksiat, namun dia tidak bertaubat, maka amalnya itu akan sia-sia. Sebab, orang yang berbuat maksiat kepada Allah maupun sesama manusia, harus terlebih dahulu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara bertaubat dan berhenti berbuat maksiat.

"Sebab kalau tidak berhenti kita kan seperti jalan di tempat, jadi kita mendekatkan diri kepada Allah tapi tidak berhenti ya jalan di situ, sekalipun tetap saja amal baik itu ada gunanya ketimbang hanya beramal buruk," pungkas beliau.

Penulis
Aisyah
Editor
Ibrahim La Haris

Tags :